Sore itu langit nampak merah jingga. Di sepanjang jalan berdiri tegak surau-surau tempat menampung doa-doa yang mengalun lembut dan syahdu. Dahulu di tanah inilah telah terdengar pekik "MERDEKA" yang sellu menggetarkan udara. Seluruh warga laki dan perempuan berseru dengan gema takbir sebagai wujud syukur kepada Sang Khaliq. Mereka menengadakan kedua tangan le arah langit, yakin bahwa esok kan lebih indah dari hari ini.
Namun kini, keadaan telah berubah. Suara do'a nan lembut tertutup oleh deru knalpot yang sangat memekikkan telinga. Segerombolan pemuda congkak berdiri di tepi jalan dengan tatapan kosong tak mempedulikan panggilan sholat yang telah berkumandang. Mereka membiarkan begitu saja seolah waktu tak lagi berarti. Mereka tertawa berteriak keras tanpa etika.
Di antara deru angin senja, seakan terdengar suara dari masa lalu....Suara seorang pejuang yang pernah mempertaruhkan nyawanya untuk tanah air ini.
"Wahai Wahai pewaris perjuanganku, di manakah letak hati nuranimu?
Akankah darah suciku kau tukar dengan kegamangan hidupmu?
Begitu tega kau hancurkan harapanku, sejengkal tanah kupertaruhkan nyawaku
telah kau rusak dengan nafsu serakahmu"
Angin kembali berhembus, membawa aroma tanah basah yang pernah diwarnai darah para pejuang. Suara itu memudar namun pesan yang dibawa tetap tertinggal di udara. Kemerdekaan bukanlah warisan untuk diabaikan, melainkan janji yang harus dijaga dengan penuh cinta dan kesetiaan.
Komentar
Posting Komentar